Selasa, 23 Oktober 2012

Ibu Kota Jakarta yang KEBANJIRAN

Berkaitan dengan banjir, terdapat banyak istilah yang kerapkali digunakan baik dalam komunikasi verbal sehari-hari maupun di media masa. Istilah-istilah itu antara lain penanganan banjir, pengendalian banjir, pencegahan banjir, penanggulangan banjir, mitigasi banjir dan sebagainya.
Dengan mengacu pada Isnugroho (2002), dibedakan  dua istilah yaitu penanggulangan banjir dan pengendalian banjir. Penanggulangan banjir adalah kegiatan yang dilaksanakan selama banjir sedang berlangsung dan sesudah banjir berlalu. Sedangkan pengendalian banjir adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengupayakan agar tidak terjadi banjir.
Berkaitan dengan pengendalian banjir terdapat dua kegiatan pokok. Pertama, kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai. Kedua, kegiatan yang ditujukan untuk memperbesar daya tampung (kapasitas alur sungai).
Secara umum, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pengendalian banjir selama ini gagal. Pertama, tidak terintegrasinya pendekatan biofisik dan pendekatan institusi dalam berbagai program penanganan banjir. Kedua, meski peran masyarakat dianggap penting, namun dalam implementasinya peran serta masyarakat, secara tidak disadari, kerap masih dianggap sebagai non-faktor.
Karena itu, solusi penanganan banjir ke depan harus mengintegrasikan aspek biofisik dan aspek institusi, dan menempatkan masyarakat sebagai faktor utama dalam proses pengendalian banjir.
Pengertian institusi di sini mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh North (1990) dan Rodgers (1994) dalamNugroho (2006), dimana institusi diartikan sebagai aturan main, norma-norma, larangan-larangan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku dalam masyarakat atau organisasi
Tulisan ini lebih banyak difokuskan pada ikhtiar untuk pengendalian banjir yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai melalui aktifitas yang mengintegrasikan pendekatan biofisik dan institusi.
Tiga perspektif.
Melalui pendekatan pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), persoalan banjir setidaknya dapat diterangkan dengan tiga perspektif.
Pertama, banjir sebagai fenomena debit puncak (peak discharge). Banjir terjadi karena debit puncak tidak dapat ditampung oleh dimensi sungai / saluran. Jika DAS dipahami sebagai sebuah hamparan wilayah, dimana hujan yang jatuh di hamparan wilayah itu akan menuju ke sungai yang sama, maka debit puncak merupakan akumulasi dari debit run off (limpasan permukaan) yang berasal dari tiap persil lahan di DAS yang bersangkutan.

Keberadaan persil lahan, yang melekat hak kepemilikan (property right) di dalamnya, memperoleh penekanan di sini. Persil lahan dapat berupa persil hutan, persil perkebunan, tanaman pangan, permukiman, industri, lahan basah, semak, dan sebagainya. Kepemilikan dapat berupa pemilikan oleh negara (state property), individu atau badan hukum swasta (private property), dan pemilikan bersama (common property), serta persil-persil yang secara de facto dapat dikategorikan open access.
Dari perspektif ini, maka jika kita ingin mengendalikan banjir, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di DAS itu, harus ikut serta menurunkan debit limpasan yang keluar dari persil lahannya masing-masing.
Kedua, banjir sebagai akibat meningkatnya koefisien limpasan DAS, yaitu nisbah antara banyaknya air hujan yang menjadi limpasan permukaan dengan banyaknya air hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan. Setiap jenis penggunaan tanah memiliki koefisien limpasan yang berbeda. Koefisien limpasan suatu DAS merupakan rata-rata tertimbang dari koefisien limpasan masing-masing persil lahan. Jadi, jika kita ingin mengendalikan banjir (mengurangi koefisien limpasan DAS), maka setiap warga DAS harus berpartisipasi untuk menurunkan koefisien limpasan pada persil lahannya masing-masing.
Ketiga, banjir sebagai produk dari eksternalitas hidrologi yang negatif. Debit limpasan yang keluar dari setiap persil lahan, yang kemudian menyebabkan banjir, merupakan eksternalitas hidrologi yang negatif dari persil lahan itu. Setiap warga DAS berpotensi menjadi produsen eksternalitas hidrologi yang negatif, dimana biaya eksternalitasnya ditanggung oleh warga di hilir dalam bentuk banjir. Dari perspektif ini, maka banjir dapat dikendalikan jika setiap warga DAS melakukan upaya internalisasi.
Ketiga perspektif tersebut pada dasarnya menerangkan hal yang sama, bahwa untuk mengendalikan banjir di suatu wilayah DAS, maka setiap warga DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di wilayah DAS yang bersangkutan, harus melakukan ”sesuatu” yaitu mengadakan atau membangun sistem genangan dan atau sistem resapan di persil lahannya masing-masing.
Setidaknya terdapat dua rumpun teknologi untuk membangun sistem genangan atau sistem resapan di setiap persil. Pertama, rumpun teknologi konservasi tanah dan air. Dan kedua, rumpun teknologi pemanenan air hujan (rain water harvesting). Rumpun teknologi yang terakhir ini terutama dikembangkan di wilayah dengan curah hujan (CH) rendah (dibawah 1000 mm per tahun). Namun dengan berbagai kejadian kekeringan yang cenderung makin panjang akibat perubahan iklim global, teknologi pemanenan air hujan ini tampaknya harus mulai diperkenalkan di DAS yang memiliki CH tahunan yang relatif tinggi sekalipun.
so, buat warga jakarta seperti nya harus bersabar dulu menerima tamu LANGGANAN,semoga gubernur atau pemerintah yang terkait bisa menyelesaikan masalah banjir demi masa depan IBU KOTA JAKARTA.

Selasa, 09 Oktober 2012

PENGANGGURAN DI INDONESIA THN 2012


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai angka pengangguran di Indonesia sudah cukup tinggi akibat kesenjangan antara pertumbuhan angkatan kerja dan lapangan pekerjaan.
"Akibat ketimpangan tersebut diperkirakan setiap tahunnya pengangguran meningkat sebesar 1,3 juta orang. Saat ini, kendala utama pertumbuhan bagi pelaku usaha adalah krisis ekonomi yang sedang melanda Amerika Serikat dan Eropa," kata Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto di Jakarta, Selasa (1/5).
Menurut Suryo, pengangguran di Indonesia mencapai 9 juta orang. Hal ini terjadi karena jumlah pertumbuhan angkatan kerja tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja khususnya di sektor formal.
"Pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun mencapai 2,91 juta orang, sedangkan lapangan pekerjaan hanya 1,6 juta orang. Sehingga ada 'gap' sebesar 1,3 juta orang yang kemungkinan menjadi pengangguran terbuka di Indonesia," paparnya.
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa bukan hanya soal kesenjangan, penggangguran di Indonesia juga terjadi akibat tidak bertemunya kualitas pencari kerja dengan kebutuhan yang diinginkan perusahaan.
"Berdasarkan tingkat pendidikannya, dari 8,14 juta pengangguran terbuka, 20 persen berpendidikan SD, 22,6 persen tamatan SMP, 40,07 persen tamatan SLTA, 4 persen tamatan diploma, sedangkan 5,7 persen tamatan sarjana," ujarnya.
Suryo mengatakan para pengangguran yang mencapai 9 juta orang itu jika tidak mendapat kesempatan kerja, jangan harap upaya untuk memakmurkan rakyat akan tercapai.
"Tapi, untuk penambahan tenaga kerja dalam jumlah besar di Indonesia, membutuhkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen per tahun," tandasnya.
 Jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,61 juta dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,32 persen pada awal tahun 2012. Rendahnya kualitas tenaga kerja menjadi penyebab dari masih besranya pengangguran di Indonesia.
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kemenekertrans Firdaus Badrun mengatakan terdapat empat permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Permasalahan pertama yaitu terbatasnya kesempatan kerja. Menurutnya situasi perekonomian Indonesia pada tahun yang akan datang dipenuhi dengan tantangan yang cukup berat dengan adanya krisis ekonomi yang melanda negara Eropa saat ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapat tahun terakhir diklaim meningkat dimana pada triwulan kedua 2012 mencapai 6,4 persen.
“Namun tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dapat menyerap angkatan kerja yang masuk ke dalam pasar kerja dan jumlah penganggur yang telah ada,” ujarnya saat membacakan sambutan Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam acara UI Career Expo dan Scholarship di Balairung, Kampus Depok, Kamis (20/9/12).
Permasalahan kedua, kata dia, rendahnya kualitas angkatan kerja. Berdasarkan data BPS Februari 2012, rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD ke bawah yaitu sebanyak 47,87 persen, SMP sebanyak 18,28 persen dan yang berpendidikan lebih tinggi termasuk perguruan tinggi hanya 9,72 persen. Hal ini tentu berdampak kepada daya saing dan kompetensi dalam memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri.
Permasalahan salnjutnya, ujar Firdaus, masih besarnya pengangguran di Indonesia. Pada bulan Februari 2012, jumlah angkatan kerja di Indonesia berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu terdapat 7,61 juta orang. Sementara permasalahan keempat yaitu globalisasi arus barang dan jasa. Permasalahan ini sangat terkait dengan bidang ketenagakerjaan.
“Sebagai contoh dalam sistem perdagangan bebas baik dalam kerangka WTO, APEC, dan AFTA mempengaruhi perpindahan manusia untuk bekerja dari suatu negara ke negara lain yang telah menjadi salah satu modalitas perdagangan jasa yang harus ditaati oleh setiap anggota,” kata dia
.
Karena itu, kata dia, untuk mengantisipasinya maka pemerintah harus meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia. “Dengan banyaknya bursa tenaga kerja bisa membantu percepatan pertemuan antara pencari kerja dan lowongan kerja yang tersedia,” ujarnya.
Wakil Rektor UI Muhammad Anis, mengatakan UI berupaya untuk menyelaraskan kurikulum yang diajarkan dengan kebutuhan industry. Hal itu dilakukan untuk memperbesar penyerapan tenaga kerja UI. “Hasilnya tahun ini rata-rata waktu menunggu kerja mahasiswa UI selama tiga bulan setelah lulus. Sebelumnya rata-rata lima bulan,” ujarnya.
Selain itu, UI juga secara rutin menggelar kegiatan bursa kerja seperti UI Career and Scholarship Expo XIV di Balairung UI. Acara tersebut digelar selama dua kali dalam setahun dan ini merupaka penyelenggaraan ke 14. (A-185/A-108)***

KEMISKINAN DI DKI JAKARTA

JAKARTA, KOMPAS.com — Keberhasilan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menekan angka kemiskinan selama empat tahun berturut-turut ternyata terpatahkan pada tahun 2011 ini. Angka kemiskinan kembali meningkat kembali menjadi 363.000 orang dari total penduduk Jakarta yang saat ini mencapai 9,61 juta jiwa.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan bahwa pada tahun 2011 ini angka kemiskinan kembali meningkat sebesar 3,75 persen atau menjadi 363.000 orang dari jumlah angka kemiskinan pada tahun 2010 sebesar 312.000 orang.


"Memang pada tahun ini angka kemiskinan kembali meningkat. Tapi, kami akan terus berupaya untuk menekan angka tersebut," kata Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo, saat jumpa pers Catatan Akhir Tahun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Balaikota, Jakarta, Jumat (30/12/2011).


Berdasarkan data dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin sebanyak 405.000 orang dan turun menjadi 379.000 orang pada tahun 2008. Selanjutnya, pada tahun 2009 kembali turun ke angka 323.000 dan terus menurun pada tahun 2010 menjadi 312.000 orang.


Menurut dia, angka kemiskinan di Jakarta kembali meningkat karena didorong oleh peningkatan harga bahan kebutuhan pokok yang kian melambung. Meningkatnya angka kemiskinan ini juga menjadi salah satu pemicu tingginya angka kriminalitas di Ibu Kota.


"Peningkatan harga kebutuhan pokok ini mengakibatkan naiknya angka kemiskinan di Jakarta. Untuk tahun depan, diharapkan tidak naik lagi," tuturnya.


 GAMBARAN KONDISI WILAYAH DKI JAKARTA

DKI Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk pada tahun 2008 sebesar 9.15 juta jiwa sehimgga Jakarta merupkan salah satu kota terpadat di wilayah Negara Indonesia
Dengan jumlah penduduk yang banyak maka DKI Jakarta mempunyai banyak masalah kependudukan yang salah satunya adalah masalah kemiskinan yang kurun tahun jumlahnya selalu meningkat.
Dan salah satu penyebab kemiskinan adalah kurngnya lapangan pekerjaan yang tersedia di wilayah DKI Jakarta menurut data BPS Pada tahun 2008 jumlah angkatan kerja sebesar 4,77 juta orang dan bukan angkatan kerja 2,18 juta orang tetapi jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah angkatan kerja yang ada.

 KONDISI KEMISKINAN DI WILAYAH DKI JAKARTA

Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 sebesar 323,17 ribu orang (3,62 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2008 sebesar 379.6 ribu orang (4,29 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 57,45 ribu (0,67 persen). Keadaan ini dapat terjadi karena salah satu penyebabnya adalah adanya deflasi pada bulan januari sampai maret sebesar 0,13%
Dari data BPS pula dapat dikatakan bahwa kemiskinan dari tahun-ketahun secara umum dikatakan meningkat. Hl ini dapat dilihat dari table prosentase jumlah kemiskinan dari tahun 1996-2008


 Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang dalam hidupnya, tidak memilikiharta benda mewah atau dalam hidupnya, ia tidak dapat mencukupi kebutuhanhidupnya. Kata ´kemiskinanµ diambil dari kata dasar ´miskinµ yang artinya tidakberharta benda atau serba kekurangan.Dari berbagai sudut pandang, kemiskinan dibedakan menjadi 3, yaitu :1.

Kemiskinan AbsolutSeseorang masuk ke dalam ´miskin absolutµ jika penghasilan seharinyadibawah garis kemiskinan2.


Kemiskinan RelatifSeseorang dikategorikan ´miskin relatifµ bila penghasilan seharinya sudahdiatas garis kemiskinan, namun ia masih lebih kurang mampu daripadamasyarakat di sekitarnya.3.


Kemiskinan KulturalOrang ini tidak ada usaha untuk bangkit dari kemiskinan, sekalipun ada orangdisekitarnya yang ingin membantunya.Menurut Bank Dunia, seseorang masuk ke dalam kategori ´sangat miskinµ jikapenghasilannya adalah USD 1/hari (Ini adalah garis kemiskinan), sedangkan untukkategori ´miskin sedangµ jika penghasilannya adalah USD 2/hari. Namun, pemerintahIndonesia tidak mengikuti aturan ini. Indonesia menetapkan garis kemiskinan beradapada angka Rp 6.000, jauh dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BankDunia. (+ Rp 10.000). Angka tersebut tidak manusiawi, apalagi dengan harga sembakoyang terus naik. Namun, ada maksud tersendiri dari ini. Ternyata, pemerintahIndonesia mau Indonesia itu sedikit yang miskin di mata negara lain.Ada beberapa masalah besar di Indonesia yang menyebabkan masyarakatnyamenjadi miskin. Tetapi, kami merangkumnya menjadi 3 masalah utama di Indonesia,yaitu :1. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu PanganHal ini berkaitan dengan rendahnya daya beli, tersedianya pangan yang tidak merata,dan kurangnya dukungan pemerintah bagi petani untuk memproduksi beras, namunmasyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras. Permasalahan kecukupan pangan




antara lain terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya gizibayi, anak balita, dan ibu.2. Terbatasnya dan Rendahnya Mutu Layanan KesehatanHal ini mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh dan kesehatan masyarakat miskinuntuk bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuktumbuh dan berkembang, dan rendahnya kesehatan para ibu. Salah satu indikator dariterbatasnya akses layanan kesehatan adalah angka kematian bayi. Data Susenas(Survei Sosial Ekonomi Nasional) menunjukan bahwa angka kematian bayi padakelompok pengeluaran terendah masih di atas 50 per 1.000 kelahiran hidup.3. Terbatasnya dan Rendahnya Mutu Layanan PendidikanHal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya kesediaan saranapendidikan, terbatasnya jumlah guru bermutu di daerah, dan terbatasnya jumlahsekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar. Pendidikan formal belum dapatmenjangkau secara merata seluruh lapisan masyarakat sehingga terjadi perbedaanantara penduduk kaya dan penduduk miskin dalam masalah pendidikan.Ada beberapa faktor yang membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin,antara lain :1. Kurang tersedianya sarana yang dapat dipakai keluarga miskin secara layakmisalnya puskesmas, sekolah, tanah yang dapat dikelola untuk bertani.2. Kurangnya dukungan pemerintah sehingga keluarga miskin tidak dapat menjalanidan mendapatkan haknya atas pendidikan dan kesehatan yang layak dikarenakanbiaya yang tinggi3. Rendahnya minat masyarakat miskin untuk berjuang mencapai haknya karenamereka kurang mendapat pengetahuan mengenai pentingnya memliki pendidikantinggi dan kesehatan yang baik.4. Kurangnya dukungan pemerintah dalam memberikan keahlian agar masyarakatmiskin dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak.5.Wilayah Indonesia yang sangat luas sehingga sulit bagi pemerintah untukmenjangkau seluruh wilayah dengan perhatian yang sama. Hal ini menyebabkanterjadi perbedaan masalah kesehatan, mutu pangan dan pendidikan antara wilayahperkotaan dengan wilayah yang tertinggal jauh dari perkotaan
 
OPINI :
sebaiknya pemerintah bersikap tegas tentang masalah kemiskinan terutama di DKI JAKARTA karena angka kemiskinan di jakarta sudah sangat tinggi , upaya mencegah kemiskinan di jakarta salah satunya dengan meluaskan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yg pengangguran . Pemerintah harus turun langsung untuk menghadapi masalah kemiskinan di DKI JAKARTA .